Sabtu, 26 November 2011

TUGAS PSIKOLOGI INTERNET

      I. PERBANDINGAN WEBSITE

      1) Perbandingan Lady Gaga VS JLO
Perorangan
Aspek
Website Lady Gaga
Website Jennifer Lopez
Warna
Di dominasi warna hitam, sesuai dengan gaya lady gaga yang misterius dan nyentrik.
Di dominasi warna biru dan pink, sesuai dengan gaya jennifer lopez yang feminin dan sexy.
Layout
Pada tampilan awal terdapat info tentang koleksi terbaru lady gaga seperti CD,buku,dan konser terbaru di sebelah kanan. Lalu di sebelah kiri atas terdapat tulisan enter. Setelah mengklik enter,maka akan terlihat fitur-fitur seperti info,event-event,store,lirik-lirik lagu lady gaga,chat,video,music,biografi,dll. Dibandingkan dengan website jennifer lopez, website lady gaga lebih lengkap dan menarik dalam penyajiannya.
Pada tampilan awal terdapat link menuju ke social network milik JLO, koleksi foto, video terbaru,event-event,dsb. Namun info-info dan fitur kurang lengkap bila dibandingkan dengan websitenya lady gaga.


      2) Perbandingan Harpers Bazaar VS Elle
Perusahaan
Aspek
Majalah Harpers Bazaar
Majalah Elle
Warna
Di dominasi warna putih.
Di dominasi warna putih.
Layout
Tampilannya menarik, terdapat banyak foto-foto ikon fashion dunia. Sebagai majalah fashion wanita ternama, harpers bazaar juga menampilkan info produk-produk kosmetik dan fashion stuff lainnya seperti tas,sepatu,pakaian,dll.
Dibandingkan dengan harpers bazaar, tampilan majalah elle lebih simple dan info yang diberikan dituliskan secara to the point. Secara garis besar tampilan website ini kurang menarik bila dibandingkan dengan website majalah harpers bazaar.


3) Perbandingan Kedubes Perancis VS Kedubes Jerman
Pemerintahan
Aspek
Kedubes Perancis
Kedubes Jerman
Warna
Di dominasi warna putih dan biru. Sesuai dengan warna bendera negara perancis.
Di dominasi warna biru.
Layout
Pada halaman depan terdapat gambar candi borobudur, monas, menara eiffel dan arc de triomphe. Terdapat pula foto presiden susilo bambang yudoyono dan presiden nicolas sarkozy sedang berjabat tangan. Di bagian kiri terdapat banyak info tentang institusi perancis di indonesia, hubungan perancis dengan indonesia, informasi tentang kebudayaan perancis. Di bagian tengah terdapat berita-berita teraktual atau terbaru seputar acara yang berhubungan dengan indonesia dan perancis. Website ini menggunakan dua bahasa yaitu indonesia dan perancis.
Secara keseluruhan tampilan kurang menarik,terkesan monoton. Namun informasi yang ada jauh lebih banyak dan beragam dibandingkan dengan website kedubes perancis.




      
      II. PERBANDINGAN FASILITAS INTERNET

      1) Perbandingan Yahoo mail VS Hotmail
Email
Kelebihan
Kekurangan
Yahoo Mail
Mudah dipelajari (user friendly),kapasitas penyimpanan tak terbatas (unlimited), tampilan layar yang menarik, intergrasi ke service/pelayanan lain yang mudah, mudah untuk memindahkan atau mengatur saat membaca email (drag and drop folders)
Terlalu banyak iklan pada versi gratis, filter spam yang buruk, perlu biaya ekstra untuk membalas POP mail, tidak ada dukungan IMAP.
Windows live hotmail
Sangat fleksibel, layar mudah disesuaikan dari warna pilihan, mudah untuk memindahkan atau mengatur saat membaca email (drag and drop folders), mudah berpindah/beralih antara akun email yang lain, integrasi yang baik dengan fitur windows live.
Tertinggal dalam hal fitur, kapasitas penyimpanan hanya 5GB kecuali mengupgrade, size iklan yang cukup besar pada versi gratis, perlu waktu untuk mempelajari/membiasakan diri (tidak user friendly).


      2) Perbandingan FB VS Twitter
Social Network
Kelebihan
Kekurangan
Facebook
Pengguna jauh lebih banyak dibanding twitter, aplikasi yang lengkap, lebih menekankan pada hubungan yang mendalam dengan orang lain.
Lebih sulit untuk mengupdate,respon kurang cepat.
Twitter
Sangat interaktif, mudah untuk mengupdate dan mempromosikan sesuatu,respon cepat, tidak harus login untuk mendapatkan update tetapi bisa menggunakan RSS reader.
Terbatas hanya untuk 140 karakter saja per-update, mudah disalahgunakan untuk spam, fungsinya terbatas, pengguna lebih sedikit dibandingkan facebook, lebih menekankan pada jumlah follower,

      3) Perbandingan YM VS Skype
Instant Messaging
Kelebihan
Kekurangan
Yahoo Messenger
Lebih familiar dan mudah dipelajari (user friendly),
Kualitas video kurang bagus/sering frozen.
Skype
Unggul dalam fitur video,
Kualitas suara kurang bagus.


     III. Pro Kontra teknologi internet 
     
     Internet jika digunakan dan dimanfaatkan secara positif akan sangat membantu kehidupan kita. Internet       bisa mengubah dunia menjadi semakin lebih sempit, karena kita bisa mengetahui dan melihat dunia dengan mudahnya. kita juga bisa berkomunikasi antar benua sehingga jarak tidak lagi menjadi sebuah permasalahan yang besar. Internet membuat semuanya menjadi jauh lebih mudah dan praktis. Namun di sisi lain internet juga membuat individu menjadi malas, sebagai contoh masyarakat di era sekarang ini lebih tertarik menggunakan fasilitas internet search engine untuk mencari informasi yang diinginkan dibandingkan pergi ke perpustakaan atau toko buku. internet juga membuat sebagian orang kecanduan "addicted" dan menghabiskan waktunya terbuang sia-sia. 

      Solusi atau Rekomendasi 

      Kemajuan teknologi, terutama internet menjadi alat komunikasi seluruh dunia
Memberikan tantangan yang besar bagi orangtua dan pendidik
      
      Orangtua dan pendidik perlu menerapkan aturan penggunaan internet yang aman agar anak tidak menjadi korban.

Yang kebanyakan dilakukan anak :

Belanja
Facebook & Twitter
Chatting
Main game
Mengerjakan tugas

       FAKTOR RESIKO

Pornografi
Kecanduan internet " karena game online
Cyber bullying
Online predator
Pemberian informasi yang salah
 Perjudian
 Pencurian identitas

    APA YANG DAPAT DILAKUKAN ORANGTUA UNTUK MENGURANGI FAKTOR RESIKO?

Taruh komputer di tempat yang sering dilewati orang. Contoh : ruang tamu, ruang keluarga.
Pasang software untuk memfilter hal-hal yang negatif.
Kembangkan peraturan yang jelas dan masuk akal dalam keluarga.
Ketahui password dan username yang digunakan anak.
Kenali teman-temannya yang sering online dengannya.
Dampingi anak apabila dia masih kecil (kurang dari 10 tahun) " kalau masih terlalu kecil tidak perlu memiliki akun pribadi.

BILA ANAK CHATTING atau MENGGUNAKAN EMAIL

Jangan berikan alamat email, nama, ke orang yang tidak dikenal.
Anonim, gunakan nama samaran.
Jangan kirimkan foto, alamat rumah, nama sekolah, nomor telepon.
 Jangan menemui orang yang dikenal melalui internet tanpa pendamping orangtua.
 Jangan buka email yang tidak dikenal.
 Laporkan pada orang dewasa bila ada hal yang tidak menyenangkan terjadi.
Kalau perlu berkenalan dengan teman-temannya.


   YANG LEBIH PENTING ACCEPT TEMAN-TEMAN YANG DIKENAL SAJA.

HAL YANG PERLU DI DISKUSIKAN DENGAN ANAK

Pentingnya menjaga kerahasiaan data pribadi.
 Orang mudah berbohong di internet.
Internet merupakan ruang publik.
Diskusikan hal-hal yang dilihat dan dibacanya di internet.
 Terbukalah, sehingga anak merasa nyaman apabila ada hal-hal yang ingin ditanyakan.
Jangan membuat dia takut kehilangan haknya menggunakan internet.
Hargai anak.

YANG PENTING
TETAP MEMILIKI JALUR KOMUNIKASI SEHINGGA ANAK INGIN BERBAGI PERMASALAHAN DENGAN ANDA.

Senin, 16 Mei 2011

STRES DAN PENGARUH TERHADAP LINGKUNGAN

Definisi Stres

Sarafino (1998), stres muncul akibat terjadinya kesenjangan antara tuntutan yang dihasilkan oleh transaksi antara individu dan lingkungan dengan sumber daya biologis, psikologis atau sistem sosial yang dimiliki individu tersebut.
Stres merupakan penekanan pada peristiwa-peristiwa dan situasi-situasi negatif yang dialami individu yang dapat menimbulkan sfek yang tidak teratur pada perilakunya, (Lahey & Ciminero, 1998).

Penyebab Stres

Stres muncul ketika seseorang melakukan penyesuaian diri terhadap suatu peristiwa atau situasi. Akan tetapi tidak semua peristiwa atau situasi dapat menimbulkan stress. Ada dua faktor yang mengakibatkan suatu situasi atau peristiwa menimbulkan stres yaitu yang berhubungan dengan situasi yang dialami oleh individu (Lazarus dalam Safarino, 1998).
Situasi atau peristiwa yang berhubungan dengan individu dapat berupa kondisi tertentu dalam lingkungan yang merusak jaringan dalam tubuh, seperti hawa panas/ dingin yang berlebihan, luka atau penyakit. Keadaan sakit menyebabkan munculnya tuntutan pada sistem biologis dan psikologis individu, dimana derajat stres yang akan timbul karena tuntutan ini tergantung pada keseriusan penyakit dan umur individu tersebut.
Sementara yang berhubungan dengan situasi yang dialami individu dapat berupa pertahanan anggota keluarga, perceraian, kematian dalam keluarga, pekerjaan serta keadaan lingkungan (Sarafino, 1998).

Dampak Stres pada Kesehatan

Stres mempengaruhi kesehatan dalam dua cara. Cara pertama, perubahan yang diakibatkan oleh stres secra langsung mempengaruhi fisik sistem tubuh yang dapat mempengaruhi kesehatan. Cara kedua, secra tidak langsung stres mempengaruhi perilaku individu sehinggga menyebabkan timbulnya penyakit atau memperburuk kondisi yang sudah ada (Baum dalam Safarino, 1998).

Strategi Mengatasi Stres

Mengurangi tingkatan stres mengakibatkan berkurangnya resiko memburuknya atau kambuhnya suatu penyakit. Sealin itu keadaan yang diakibatkan oleh kondisi stres seringkali menimbulkan perasaan tidak nyaman. Oleh karena itu. Oleh karena itu, manusia termotifasi untuk melakukan sesuatu untuk mengurangi stres yang disebut juga dengan coping. Coping merupakan usaha yang dilakukan individu untuk mengatur stres, kesulitan dan tantangan yang dialaminya (Blair, 1998).

Tiga pendekatan menurut Sarafino (1994) :

1. Stimulus

Keadaan atau situasi dan peristiwa yang dirasakan mengancam atau membahayakan yang menghasilkan perasaan tegang disebut sebagai stressor. Beberapa ahli yang menganut pendekatan ini mengkategorikan stresor menjadi tiga :
a. Peristiwa katastropik, misalnya angin tornado atau gempa bumi.
b. Peristiwa hidup yang penting, misalnya kehilangan pekerjaan atau orang yang dicintai.
c. Keadaan kronis, misalnya hidup dalam kondisi sesak atau bising.

2. Respon

Respon adalah reaksi sesorang terhadap stresor. Untuk itu dapat diketahui dari dua komponen yang saling berhubungan, yaitu komponen psikologis dan komponen fisiologis.
a. Komponen psikologis, seperti perilaku, pola pikir dan emosi
b. Komponen fisiologis, seperti detak jantung, mulut yang mongering (sariawan), keringat dan sakit perut.
Kedua respon tersebut disebut dengan strain atau ketegangan.

3. Proses

Stres sebagai suatu proses terdiri dari stesor dan strain ditambah dengan satu dimensi penting yaitu hubungan antara manusia dengan lingkungan. Proses ini melibatkan interaksi dan penyesuaian diri yang kontinyu, yang disebut juga dengan istilah transaksi antar manusia dengan lingkungan, yang didalamnya termasuk perasaan yang dialami dan bagaimana orang lain merasakannya.

B. Jenis Stres

Holahan (1981) menyebutkan jenis stres yang dibedakan menjadi dua bagian, yaitu systemic stress dan psychological stress.

1) Systemic Stress
Systemic stress didefinisikan oleh Selye (dalam Holahan, 1981) sebagai respon non spesifik dari tubuh terhadap beberapa tuntutan lingkungan. Ia menyebut kondisi-kondisi pada lingkungan yang menghasilkan stres, misalnya racun kimia atau temperatur ekstrim, sebagai stressor.
Selye mengidentifikasikan tiga tahap dalam resspon sistemik tubuh terhadap kondisi-kondisi penuh stress, yang diistilahkan General Adaptation Syndrome (GAS).
Tahap pertama adalah alarm reaction dari system syaraf otonom, termasuk didalamnya peningkatan sekresi adrenalin, detak jantung, tekanan darah dan otot menegang. Tahap ini bsa diartikan sebagai pertahanan tubuh.
Selanjutnya tahap ini diikuti oleh tahap resistance atau adaptasi, yang didalam nya termasuk berbagai macam respon coping secara fisik.
Tahap ketiga, exhaustion atau kelelahan, akan terjadi apabila stressor datang secara intens dan dalam jangka waktu yang cukup lama, jika usaha-usaha perlawanan gagal untuk menyelesaikan secara adekuat.

2) Psychological Stress
Psychological stress terjadi ketiksa individu menjumpai kondisi lingkungan yang penuh stress sebagai ancaman yang secara kuat menantang atau melampaui kemampuan copingnya (Lazarus dalam Holahan, 1981). Sebuah situasi dapat terlihat sebagai suatu ancaman dan berbahaya secara potensial apabila melibatkan hal yang memalukan, kehilangan harga diri, kehilangan pendapatan dan seterusnya (dalam Heimstra & McFarling, 1978).
Hasil penelitian dari Levy dkk. (1984) ditemukan bahwa stress dapat timbul dari kondisi-kondisi yang bermacam-macam, seperti ditempat kerja, di lingkungan fisik dan kondisi sosial. Stress yang timbul dari kondisi sosial bisa dari lingkungan rumah, sekolah atau tempat kerja.

C. Sumber Stres (Stressor)

Lazarus dan Cohen (dalam Evans, 1982) mengemukakan bahwa terdapat tiga kelompok sumber stress, yaitu :
1. Fenomena catalismic, yaitu hal-hal atau kejadian-kejadian yang tiba-tiba, khas, dan kejadian yang menyangkut banyak orang seperti bencana alam, perang, banjir, dan sebagainya.
2. Kejadian-kejadian yang memerlukan penyesuaian atau coping seperti pada fenomena catalismic meskipun berhubungan dengan orang yang lebih sedikit seperti respon seseorang terhadap penyakit atau kematian.
3. Daily hassles, yaitu masalah yang sering dijumpai di dalam kehidupan sehari-hari yang menyangkut ketidakpuasan kerja atau masalah-masalah lingkungan seperti kesesakan atau kebisingan karena polusi.

KETERKAITAN/ HUBUNGAN ANTARA STRES DENGAN LINGKUNGAN

Dalam mengulas dampak lingkungan binaan terutama bangunan terhadap stres psikologis, Zimring (dalam Prawitasari, 1989) mengajukan dua pengandaian. Yang pertama, stress dihasilkan oleh proses dinamik ketika orang berusaha memperoleh kesesuaian antara kebutuhan-kebutuhan dan tujuan dengan apa yang disajikan oleh lingkungan. Proses ini dinamik karena kebutuhan-kebutuhan individual sangat bervariasi sepanjang waktu dan berbagai macam untuk masing-masing individu. Cara penyesuaian atau pengatasan masing-masing individu terhadap lingkungannya juga berbagai macam.
Pengandaian kedua adalah bahwa variable transmisi harus diperhitungkan bila mengkaji stress psikologis yang disebabkan oleh lingkungan binaan. Misalnya perkantoran, status, anggapan tentang kontrol, pengaturan ruangan dan kualitas lain dapat menjadi variable transmisi yang berpengaruh pada pandangan individu terhadap situasi yang dapat dipakai untuk menentukan apakah situasi tersebut menimbulkan stress atau tidak.

Contoh : Kemacetan Ibukota yang semakin parah akibat terlalu banyaknya jumlah kendaraan pribadi sehingga menyebabkan stres yang ditandai dengan kelelahan, turunnya kualitas kerja dan emosi yang meningkat.

Senin, 25 April 2011

teritorialitas, privasi, ruang personal,

1. Teritorial
Menurut holahan teritorialitas adalah suatu pola prilaku yang ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas sebuah lokasi geografis tertentu. pola prilaku ini mencangkup personalisasi dan pertahanan terhadap gangguan dari luar. Menurut Altman, teritorialitas itu individu yang tinggal di daerah tersebut dapat mengontrol daerah tempat tinggalnya.
Altman membagi teritorialitas menjadi 3 yaitu :
1). Teritorial Primer
Jenis teritori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya.
2). Teritorial Sekunder
Jenis teritori ini lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolannya oleh perorangan.
3). Teritorial Umum
Teritorial umum dapat dipergunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan-aturan yang lazim di dalam masyarakat dimana territorial umum itu berada. Territorial umum dibagi menjadi 3 yaitu :
a). Stalls yaiu suatu tempat yang dapat disewa atau dipergunakan dalam jangka waktu tertentu, biasanya berkisar antara jangka waktu lama dan agak lama.
b). Turns yaitu dipakai orang dalam jangka waktu singkat.
c). Use Space yaitu teritori yang berupa ruang yang dimulai dari titik kedudukan seseorang ke titik kedudukan objek yang sedang diamati seseorang.

2. Privasi
Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu.
privasi yaitu sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan pilihan atau kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan. privasi jangan dipandang hanya sebagai penarikan diri seseorang secara fisik terhadap pihak pihak lain dalam rangka menyepi saja.
FAKTOR – FAKTOR PRIVASI
1. faktor personal
Ada perbedaan jenis kelamin dalam privasi, dalam suatu penelitian pria lebih memilih ruangan yang terdapat tiga orang sedangkan wanita tidak memeprmasalahkanisi dalam ruangan itu. Menurut Maeshall prbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan privasi.
2. faktor situasional
Kepuasan akan kebutuhan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang di dalamnya untuk mandiri.
3.faktor budaya
Pada penelitian tiap-tiap budaya tidak ditemukan perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan tetapi berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi. Misalnya rumah orang jawa tidak terdapat pagar dan menghadap ke jalan, tinggal dirumah kecil dengan dindidng dari bamboo terdiri dari keluarga tunggal anak ayah dan ibu.
3. Ruang Personal
Menurut Edward T. Hall, seorang antropolog, bahwa dalam interaksi social terdapat zona spasial yang meliputi: jarak intim, jarak personal, jarak social, dan jarak public.
Jarak intim adalah jarak yang dekat dan akrab atau keakraban dengan jarak 0-18 inci contohnya pada saat orang sedang bercinta, olahraga gulat, saling menyenangkan, saling melindungi.
Jarak personal adalah yang memiliki jarak 1,5- 4 kaki. Jarak ini adalah karakteristik kerenggangan yang biasa dipakai individu satu sama lain contohnya hubungan-hubunga di antara teman-teman dekat sebagaimana interaksi sehari-hari dengan kenalan.
Jarak social adalah yang mempunyai jarak 4-12 kaki yang merupakan jarak-jarak normal yang memungkinkan terjadinya kontak social yang umum serta hubungan bisnis.
Jarak public adalah yang mempunyai jarak lebih dari 12 kaki atau jarak dimana isyarat-isyarat komunikasi lebih sedikit dibandingkan dengan daerah-daerah terdahulu.

4. Hubungan Teritorial, Privasi, dan Ruang personal
dapat disimpulkan bahwa privasi, teknik territorial, dan ruang personal sangat erat kaitannya dengan lingkungan sekitar, dan dapat pula menyebabkan ketidakyamanan jika tidak digunakan dengan baik.

Senin, 28 Maret 2011

KESESAKAN DAN KEPADATAN

Pengertian Kesesakan
Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) tidaklah jelas benar, bahkan kadang – kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikian secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu ksatuan ruang.
Stokols (dalam Altman, 1975) membedakan antara kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding), yaitu dimana factor – factor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempit, dan kesesakan sosial (social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler (molecular crowding), yaitu perasaan sesak yang menganalisa mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian-kejadian interpersonal dan kesesakan molar (molar crowding), yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota.
Morris (dalam Iskandar, 1990) memberi pengertian kesesakan sebagai defisit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, maka ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang. Dalam suatu unit hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan untuk suatu aktivitas. Oleh karenanya untuk setiap ruang akan memerlukan suatu ukuran standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda.
Rapoport (dalam Stokols dan Altman, 1987) mengatakan, kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang dirasa tidak mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesesakan
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesesakan yaitu: personal, sosial, dan fisik, yang akan dibahas satu persatu.
1. Faktor Personal.
Faktor personal terdiri dari :
a. Kontrol pribadi dan locus of control
b. Budaya, pengalaman, dan proses adaptas
c. Faktor Sosial. Faktor sosial yang berpengaruh adalah:
1) Kehadiran dan perilaku orang lain
2) Formasi koalisi
3) Kualitas hubungan
4) Informasi yang tersedia


2. Faktor Fisik.
Gove dan Hughes (1983) menemukan bahwa kesesakan di dalam rumah berhubungan dengan faktor – faktor fisik yang berhubungan dengan kondisi rumah seperti jenis rumah, urutan lantai, ukuran rumah (perbandingan jumlah penghuni dan luas ruangan yang tersedia) dan suasana sekitar rumah. Jenis rumah di sini dibedakan atas unit hunian tunggal, kompleks perubahan dan rumah susun. Menurut beberapa penelitian didapati bahwa kesesakan yang paling tinggi ada pada rumah susun, kemudian pada kompleks perumahan dan baru setelah rumah tunggal (unit hunian tunggal).
Altman (1975), Bell dan kawan-kawan (1978), Gove dan Hughes (1983) menambahkan adanya faktor situasional sekitar rumah sebagai faktor yang juga mempengaruhi kesesakan. Stressor yang menyertai faktor situasional tersebut seperti suara gaduh, panas, polusi, sifat lingkungan, tipe suasana, dan karakteristik seting (tipe rumah, tingkat kepadatan). Faktor situasional tersebut antara lain:
a. Besarnya skala lingkungan
b. Variasi arsitektural
Pengaruh Kesesakan Terhadap Perilaku Menurut Beberapa Ahli :
• Aktivitas seseorang akan terganggu oleh aktivitas orang lain
• Interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan personalnya
• Gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan (Epstein, 1982) serta disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara psikologi (psychological withdrawal)
• Menurunnya kualitas hidup (Freedman, 1973).
• Penurunan – penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan sosial individu. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stres, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat, dan bahkan juga gangguan mental yang serius.
• Malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala – gejala psikosomatik, dan penyakit – penyakit fisik yang serius (Worchel dan Cooper, 1983).
• Kenakalan remaja, menurunnya sikap gotong-royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial, berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkurangnya intensitas hubungan sosial (Holahan, 1982)
• Fisher dan Byrne (dalam Watson dkk., 1984) menemukan bahwa kesesakan dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan menyelesaikan tugas yang kompleks, menurunkan perilaku sosial, ketidaknyamanan dan berpengaruh negatif terhadap kesehatan dan menaikkan gejolak fisik seperti naiknya tekanan darah (Evans, 1979).
Dari sekian banyak akibat negatif kesesakan pada perilaku manusia, Brigham (1991) mencoba menerangkan dan menjelaskannya menjadi :
1. pelanggaran terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekan perasaan yang disebabkan oleh kehadiran orang lain
2. keterbatasan perilaku, pelanggaran privasi dan terganggunya kebebasan memilih
3. kontrol pribadi yang kurang
4. stimulus yang berlebihan.
Freedman (1975) memandang kesesakan sebagai suatu keadaan yang dapat bersifat positif maupun negatif tergantung dari situasinya. Jadi kesesakan dapat dirasakan sebagai suatu pengalaman yang kadang-kadang menyenangkan dan kadang-kadang tidak menyenangkan.
Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negatif pada perilaku seseorang, tetapi menurut Altman (1975) dan Watson dkk. (1984), kesesakan kadang memberikan kepuasan dari kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu, serta setting kejadian. Situasi yang memberikan kepuasan dan kesenangan bisa kita temukan, misalnya pada waktu melihat pertunjukan musik, pertandingan olahraga atau menghadiri reuni atau resepsi.

Teori-teori Kesesakan
Untuk menerangkan terjadinya kesesaka dapat dignakan tiga model teori, yaitu beban stimulus, kendala perilaku, dan ekologi (Bell dkk, 1978 ; Holahan, 1982).
1. Teori beban stimulus
Pendapat teori ini mendasarkan diri pada pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk bila stimulus yang diterima individu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan Keating (1979) mengatakan bahwa stimulus disini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya maupun kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial.
2. Teori Ekologi
Micklin (dalam Holahan, 1982) mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia. Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbal balik antara orang dengan lingkungannya. Kedua, unit analisisnya adalah kelompok sosial dan bukan individu, dan organisasi sosial memegang peranan sangat penting. Ketiga, menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial.
3. Teori Kendala Perilaku
Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesak bila kepadatan atau kondisi lain yang berhubungan dengannya membatasi aktivitas individu dalam suatu tempat. Pendekatan ini didasari oleh teori reaktansi psikologis dari Brehm (dalam Schmidt dan Keating, 1979) yang menekankan kebebasan memilih sebagai faktor pendorong penting dalam persepsi dan perilaku manusia. Ia mengatakan bahwa bila kebebasan itu terhambat, maka individu akan mengadakan suatu reaksi dengan berusaha menemukan kebebasan yang hilang tadi, yang digunakan untuk mencapai tujuannya.
CONTOH KESESAKAN
Dalam suatu pertunjukkan konser musik yang seharusnya diisi 5000 orang , tetapi diisi lebih dari 5000 orang. Artinya kapasitas tidak sesuai atau melebihi batas normal. Kesesakan yang terjadi di pertunjukkan konser musik tersebut dapat mempengaruhi fisik para penontonnya. Seharusnya pihak panitia bisa lebih tegas dalam hal keamanan, bila ada penonton atau pihak-pihak yang tidak mempunyai tiket seharusnya ditindak lebih lanjut jangan hanya memikirkan masalah keuntungan semata tetapi juga lebih memikirkan kenyamanan penonton.

KEPADATAN
Menurut Sundstrom (dalam Wrightsman & Deaux, 1981), kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan. Sedangkan Menurut Holahan (1982), mendefinisikan kepadatan (density) sebagai sejumlah individu pada setiap ruang atau wilayah. Suatu keadaan dikatakan padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).
Penelitian terhadap manusia yang pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba merinci: bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yg terjadi. Hasilnya menunjukkan ternyata banyak hal-hal negatif akibat dari kepadatan.
1. Ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok usia tertentu.
2. Peningkatan agresivitas pada anak-anak dan orang dewasa atau menjadi sangat menurun bila kepadataan tinggi sekali. Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama, dan tolong menolong sesama anggota kelompok.
3. Terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan. Juga hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil yang kompleks.
Kategori Kepadatan
Menurut Altman (1975), di dalam studi sosiologi sejak tahun 1920-an, variasi indikator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku sosial. Variasi indikator kepadatan itu meliputi jumlah individu dalam sebuah kota, jumlah individu pada daerah sensus, jumlah individu pada unit tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat tinggal, jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain – lain. Sedangkan Jain (1978) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan dipengaruhi oleh unsur – unsur yaitu jumlah individu pada setiap ruang, jumlah ruang pada setiap unit rumah tinggal, jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Hal ini berarti bahwa setiap pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda tergantung dari konstribusi unsur – unsur tersebut.
Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori, yaitu:
1. Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategori, yaitu:
a. kepadatan spasial (spatial density): terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang.
b. kepadatan sosial (social density): terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.
2. Altman (1975) membagi kepadatan menjadi:
a. kepadatan dalam (inside density): sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal. Seperti kepadatan di dalam rumah, kamar.
b. kepadatan luar (outside density) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.
Jain (1978) menyatakan bahwa setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman dapat dikatakan mempunyai kepadatan tinggi atau kepadatan rendah.
Zlutnick dan Altman (dalam Altman, 1975; Holahan, 1982) menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman, yaitu :
(1) Lingkungan pinggiran kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang rendah;
(2) Wilayah desa miskin di mana kepadatan dalam tinggi sedangkan kepadatan luar rendah; dan
(3) Lingkungan Mewah Perkotaan, di mana kepadatan dala rendah sedangkan kepadatan luar tinggi;
(4) Perkampungan Kota yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang tinggi.
Akibat – Akibat Kepadatan Tinggi
Menurut Heimtra dan Mc Farling (1978) kepadatan memberikan akibat bagi manusia baik secara fisik, sosial maupun psikis. Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang disarankan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain (Heimstra dan Mc Farling, 1978).
Akibat secara sosial antara lain adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan McFarling, 1978; Gifford, 1987).
Akibat secara psikis antara lain :
a. Stres, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negatif, rasa cemas, stres (Jain, 1987) dan perubaan suasana hati (Holahan 1982).
b. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Giffor, 1987).
c. Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keingian individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan 1982; Fisher dkk., 1984).
d. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemapuan individu untuk mengerjakan tugas – tugas pada saat tertentu (Holahan, 1982).
e. Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan Mc Farling, 1978; Holahan, 1982).
CONTOH KEPADATAN:
Misalnya saja kepadatan yang ada di lingkungan rumah, khususnya lingkungan Jakarta. Dapat dikatakan daerah Jakarta ini sudah tidak mencukupi lagi untuk ditinggali, karena lautan manusia ada di Jakarta. Mereka yang datang dari luar kota Jakarta, banyak yang datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Belum lagi perkembangan manusia semakin banyak. Apabila tidak diatasi dengan bijak, kota Jakarta akan semakin padat dan tidak sesuai ukurannya dengan tanah yang kita pijak. Ditambah lagi dengan ketidaktertiban warga Jakarta. Lalu bagaimana caranya mengatasi kepadatan yang semakin hari semakin bertambah? Menurut pendapat saya, bukan hanya pemerintah saja yang mengatasi ini semua, tetapi kita sebagai warga juga ikut berpartisipasi. Karena dengan adanya kerjasama antara pemerintah dan warga, hasil yang didapatkan akan lebih maksimal. Cara dalam mengatasi kepadatan ini adalah dengan mengatur tempat, menjaga ketertiban dan membatasi masuknya masyarakat yang datang dari luar kota serta memberlakukan KB agar pertambahan jumlah penduduk tidak melonjak drastis.

KESESAKAN DAN KEPADATAN

I. PENDAHULUAN.

Kesesakan (crowding) dan kepadatan (densitiy) merupakan fenomena yang akan menimbulkan permasalahan bagi setiap negara di dunia di masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan terbatasnya luas bumi dan potensi sumber daya alam yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia, sementara perkembangan jumlah manusia di dunia tidak terbatas.

Kesesakan dan kepadatan yang timbul dari perkembangan jumlah manusia di dunia pada masa kini telah menimbulkan berbagai masalah sosial di banyak Negara (misalnya : Indonesia, India, Cina, dan sebagainya), baik permasalahan yang bersifat fisik maupun psikis dalam perspektif psikologis. Contoh permasalahan sosial yang nyata dalam perspektif psikologis dari kesesakan dan kepadatan penduduk adalah semakin banyaknya orang yang mengalami stres dan berperilaku agresif destruktif.

Berdasarkan fenomena yang muncul dari dari realitas kini dan perkiraan berkembangnya dan timbulnya masalah di masa yang akan datang, maka dalam perspektif psikologi lingkungan kiranya dipandang tepat untuk menjadikan kesesakan dan kepadatan menjadi argumen bagi suatu pengkajian secara lebih dini dan lebih mendalam dalam usaha mengantisipasi persoalan-persoalan sosial yang pasti akan timbul pada masa kini dan masa yang akan datang.

II. MENGAPA PENDUDUK DUNIA MAKIN PADAT.

Masalah kependudukan atau lebih tepatnya lagi masalah kepadatan penduduk yang melanda hampir hampir semua negara di dunia dewasa ini, sebenarnya adalah akibat menurunnya tingkat kematian dengan tanpa disertai menurunnya tingkat kesuburan. Umumnya di negara-negara berkembang (maju) sudah mampu menurunkan tingkat kesuburannya, sedangkan di negara yang sedang berkembang belum mampu menurunkan tingkat kematian dan tingkat kesuburannya.

Sekarang ini, kira-kira ¾ penduduk dunia hidup di negara-negara yang sedang berkembang. Dibandingkan dengan mereka yang hidup di negara berkembang (maju) tingkat kelahirannya berbeda jauh. Di negara yang sedang berkembang angka kelahirannya mencapai 37.5 per 1000 penduduk. Seorang wanita di negara sedang berkembang mempunyai 5-6 orang, sementara di negara maju rata-rata jumlah anaknya hanya 2 orang.

Angka kelahiran yang tertinggi terjadi di beberapa negara Asia dan Afrika, dimana untuk setiap pasangan suami-istri mempunyai rata-rata jumlah anak 6-8 orang. Di negara-negara ini angka kelahirannya tersebut tercatat cukup tinggi, yaitu mencapai 45 per 1000 penduduk.

Ada alasan-alasan tertentu mengapa tingkat pertambahan penduduk di negara-negara yang sedang berkembang itu tetap tinggi. Beberapa pendapat yang diperkuat oleh hasil penelitian mengungkapkan bahwa tingkat pertambahan penduduk yang tinggi tersebut antara lain disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :

1. Sejak berabad-abad lamanya kesuburan yang tinggi itu merupakan jawaban terhadap kematian yang tinggi untuk mempertahankan kelangsungan hidup keluarga bangsa dan agama.

2. Di negara-negara yang sedang berkembang, anak adalah kekayaan orang tua yang paling dibanggakan karena merupakan jaminan sosial, ekonomi, dan emosi di hari tua. Oleh karena itu, kesuburan sangat dihormati untuk menjamin cukup anak, terutama anak laki-laki. Di negara-negara agraris, anak laki-laki sangat diperlukan untuk membantu mengerjakan sawah ladang atau melaksanakan upacara keagamaan tertentu pada waktu orang tuanya meninggal. Anak juga dianggap merupakan jaminan bagi para ibu, apabila

kelak mereka diceraikan atau dimadu.

3. Di negara-negara yang sedang berkembang, perkawinan pada usia remaja sering dilakukan, terutama bagi wanita di daerah pedesaan. Banyaknya perkawinan muda usia tersebut antara lain disebabkan orang tua merasa malu kalau anak gadisnya belum ada yang melamar, takut menjadi perawan tua. Oleh karena itu, banyak orang tua yang aktif mencarikan jodoh (calon suami) bagi anak gadisnya, meskipun anak gadisnya belum cukup umur untuk menikah, bahkan belum menginjak usia remaja.

4. Para orang tua dan mertua selalu mengharapkan perkawinan anaknya segera dikaruniai anak. Bagi mereka ini penting, sebab anak dari perkawinan tersebut merupakan bukti kesuburan anak gadisnya atau kejantanan anak laki-lakinya. Kebudayaan untuk menunda anak pertama pada usia yang lebih tua belum ada, sehingga pasangan itu akan dihadapkan kepada masa subur yang sangat panjang.

5. Menurut Masri Singarimbun (1977), para orang tua di Sunda dan Jawa, baik di desa maupun di kota mempunyai konsep yang sama tentang besarnya keluarga ideal. Keluarga yang ideal tersebut terdiri dari suami, istri, dan 4 orang anak, dengan 2 laki-laki dan 2 perempuan. Kalau ditakdirkan hanya mempunyai anak laki-laki saja atau perempuan saja, maka jumlah anak tersebut tidak lebih dari 4 – 5 anak (Sumapradja, 1981).

III. MASALAH KEPENDUDUKAN DAN LINGKUNGAN HIDUP.

Strategi konservasi dunia dicanangkan 6 Maret 1980. Juga di Indonesia strategi tersebut memberikan cetak biru bagi aksi konservasi dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkesinambungan serta menunjuk pentingnya aksi terpadu dalam memecahkan masalah-masalah lingkungan hidup, sumber daya alam, dan kependudukan.

Hubungan antara masalah-masalah kependudukan dan lingkungan hidup memang sangat kompleks dan sangat majemuk sifatnya, karena di dalamnya tercakup banyak sekali faktor-faktor, misalnya saja dampak teknologinya, pola konsumsinya, dan faktor-faktor sosial, ekonomi, serta politiknya.

Adanya Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dalam Kabinet sekarang ini sudah memberikan gambaran adanya hubungan timbal balik yang erat sekali antara penduduk dan lingkungan hidup ini.

Kepadatan penduduk yang tinggi akan memberikan tekanan pada daya dukung alam lingkungannya. Manakala tekanan tersebut melampaui batas kemampuan daya dukung alam lingkungan tersebut, mejadi rusak lingkungan hidupnya.

Sebaliknya, suatu lingkungan hidup yang terpelihara kelestariannya akan sangat menunjang bagi kelangsungan hidup suatu masyarakat. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, sementara lahan untuk pertanian dan pemukiman sangat terbatas, memungkinkan timbulnya “lapar tanah”. Lapar tanah untuk pertanian sangat terasa di Jawa yang jumlah penduduknya hanya 60% dari seluruh penduduk Indonesia. Sedangkan sawah-sawah kelas satu di pinggiran kota dan di sepanjang jalan ekonomi menciut akibat perluasan daerah pemukiman serta kegiatan industri. Kaki-kaki gunung di Jawa sekarang sudah tidak luput dari jamahan tangantangan manusia. Kelaparan akan tanah ini jelas terlihat dengan merayapnya kegiatan pengolahan tanah serta pembangunan menuju puncak-puncak bukit dan gunung.

Kesinambungan kehidupan alami sudah tidak diperhitungkan lagi. Tegakan pepohonan yang tadinya berfungsi untuk menahan curah hujan dan mengatur aliran air, sekarang sudah digantikan dengan tanaman ketela pohon atau jagung. Akibatnya, di musim hujan terjadi genangan air, tetapi di musim kemarau orang sulit mencari air. Ahli-ahlipun mengatakan daya dukung lingkungan sudah terlampaui oleh kepadatan penduduk. Akibatnya, keseimbangan kehidupan antara manusia dan lingkungannya terganggu. Gangguan tersebut akan mengarah kepada keadaan yang lebih parah dan merugikan, apabila tidak ada usaha untuk memperbaikinya. Berbagai cara telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal itu, anatar lain program penghijauan dan reboisasi, sementara untuk mengurangi tekanan penduduk agar tidak melampaui daya dukung alam serta lingkungan dilakukan transmigrasi. Namun, semua usaha ini masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Dari gambaran tadi, jelas nampak ada hubungan erat antara unsur manusia dalam kaitannya dengan kelestarian lingkungan hidup (Tanah Air, 1983)

IV. PERTUMBUHAN PENDUDUK MENGANCAM KESEIMBANGAN LINGKUNGAN.

Sejak masalah kependudukan dilontarkan oleh Thomas Robert Malthus lebih dari satu abad yang lalu, maka masalah itu mulai diapandang serta didekati dari berbagai aspek dan kemudian berkembang menjadi subyek, dengan dimensi aneka ragam. Di negara-negara berkembang hal ini berjalan cepat, karena tuntutan pembangunan nasional telah melibatkan masalah kependudukan sebagai masalah pokok. Berbagai aspek kehidupan mulai terganggu oleh pertambahan penduduk yang cepat, seperti kehidupan sosial ekonomi, budaya politik, hankamnas, dan lingkungan hidup.

Hambatan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk di negara berkembang umumnya karena adanya pola berpikir masyarakat yang konservatif, yang pada hakekatnya menolak perubahan nilai tradisional dan budaya Indonesia termasuk dalam masyarakat heterogen yang sifatmya tradisional dan religius, misalnya bahwa banyak anak berarti banyak rejeki atau pola berpikir bahwa anak adalah investasi bagi orang tuanya di masa depan.

Pola berpikir dan sikap seperti itu merupakan hambatan, khususnya bagi penduduk yang sebagaian besar tinggal di pedesaan, dimana nilai budaya tradisional tumbuh subur. Contoh lain, untuk mencapai pemerataan penduduk dalam mencapai keseimbangan ekonomi dan ekologi, dilaksanakan transmigrasi dari pulau yang padat penduduk ke Pelau yang konsentrasi penduduknya rendah. Usaha itu tidak dapat menghindari perubahan nilai-nilai tradisional, sebab masih ada yang beranggapan bahwa tanah kelahiran adalah warisan leluhur yang tak boleh ditinggalkan. Timbullah istilah transmigrasi bedol desa yang mengangkut seluruh harta miliknya berikut sedikit tanah kelahirannya.

Perubahan di bidang nilai-budaya memerlukan waktu yang lama dan perlu dilaksanakan dengan seksama. Tetapi, membiarkannya sebagai proses evolusi, berdasarkan berbagai pertimbangan akan memperlambat pencapaian tujuan. Tujuan dalam konteks ini adalah pembangunan segala bidang bagi kesejahteraan rakyat banyak (Tanah Air, 1983).

Di sisi lain, sebagian pengamat sosial berpendapat bahwa pelaksanaan transmigrasi yang dilakukan selama ini terkesan hanyalah sekedar upaya membuang orang dari kepadatan. Meski ada yang berhasil, secara umum yang ada hanyalah kegagalan, keluhan, jeritan perasaan disingkirkan. Namun, itu dipoles atas nama pembangunan yang dicanangkan pemerintah.

Di antara mereka yang ditansmigrasikan lewat program pemerintah, ternyata tidak sedikit yang pulang kembali ke daerah asalnya. Mereka merasa tidak produktif, tidak dimanusiakan setelah berada di daerah tujuan transmigrasi (Maryoto, 2000). Bertolak dari pemikiran ini, pemerintah mengadakan usaha untuk menekan laju pertumbuhan penduduk dengan program Keluarga Berencana. Namun, sejauh itu KB bukan satu-satunya cara yang sasarnnya terbatas bagi pasangan suami-istri yang masih subur, sedang golongan muda yang belum menikah terhindar dari usaha tersebut. Padahal pada waktu dekat, mereka akan menjadi “potential acceptor”.

Masalah kependudukan bukan hanya karena naiknya tingkat kelahiran (fertilitas), tetapi juga masalah kepadatan penduduk (density). Pulau Jawa dan Madura misalnya mempunyai kepadatan tertinggi pada tahun 1971, yaitu 576 orang per km2, sedangkan pulau lainnya di bawah 50 orang. Pertumbuhan pendudk dipengaruhi oleh tiga komponen variable demografi yang meliputi fertilitas, mortalitas, dan migrasi. Apabila masalah kependudukan tidak dapat dibenahi, implikasinya akan semakin kompleks. Aristoteles dalam karyanya berjudul Politics menyebutkan bahwa pertambahan jumlah penghuni pada suatu pemukiman dengan melebihi batas tertentu akan mempengaruhi hubungan antara penghuni tersebut. Artinya, terjadi kepincangan kehidupan sosial ekonomi, budaya, politik, dan hankamnas, dan lingkungan hidup.

Setiap usaha pelestarian alam tak lain untuk mendukung lingkungan agar tercapai keseimbangan manakala manusia melaksanakan kegiatannya sehari-hari. Komponen lingkungan yang terdiri dari manusia, materi, energi, dan kreasi oleh ilmu lingkungan diatur agar komponen serta hubungan timbal baliknya dapat mempertahankan eksistensi manusia, menciptakan dinamika dan kesejahteraan manusia. Pemecahan masalah lingkungan oleh ilmu lingkunganbaru dapat dikatakan berhasil apabila pengaturannya dilaksanakan pada areal ang tetap dengan jumlah manusia yang tetap pula. Disini terlihat merupakan korelasi belaka dari setiap komponen lainnya, dimana ilmu lingkungan sebagai suatu system lingkungan sebagai suatu system pencegahan terhadap tindak lanjut manusia terhadap kerusakan lingkungan dan sekaligus mencoba mengurangi masalah yang sudah terjadi. Bagaimana seharusnya manusia ditempatkan sebagai faktor utama di dalam pengelolaan lingkungan, karena manusia paling dominan dalam tingkah lakunya terhadap lingkungan sendiri.

Barangkali, konsep demografi George W. Barclay dapat memberikan gambaran yang menarik dari penduduk, bahwa demografi mempelajari tingkah laku keseluruhan dan bukan tingkah laku perorangan. Darwin juga menunjukkan pembuktian pada flora dan fauna, dan Durkheim (Antropolog) melihatnya dalam masyarakat bahwa suatu pertambahan penduduk sementara areal tetap, maka cenderung menghasilkan perbedaan dan pengkhususan. Dampak dari penduduk padat (density) akan menambah kompleksitas struktur sosialnya, yang pada akhirnya akan mengganggu keseimbangan lingkungan hidup (Tanah Air, 1983).

V.KEPADATAN DAN KESEHATAN FISIK.

Kepadatan mencakup banyak dimensi. Kepadatan tidak hanya mencakup dimensi fisik seperti ukuran jumlah penduduk per wilayah atau jumlah orang per rumah (kepadatan hunian dan kepadatan rumah) akan tetapi juga mengandung aspek sosial, ekonomi, dan lain-lain.

Oleh karena itu, upaya untuk mengatasi kepadatan perlu memperhatiakn aspek lain di luar aspek fisik. Berbagai aspek tersebut terutama yang menguntungkan kehidupan penduduk perlu dipertahankan sehingga kebiasaan dan perilaku yang positif tetap dapat dipertahankan. Dengan demikian, identitas cultural penduduk tetap terjaga, terutama tatanan sosial seperti misalnya interaksi sesama penduduk, kebiasaan saling mengunjungi serta saling pinjam meminjam ada pada upaya perbaikan pemukiman.

Di tinjau dari segi penduduk, terungkap bahwa rumah padat bagi penduduk berarti rumah yang luasnya tidak sebanding dengan jumlah penghuninya, serta tidak ada tempat bermain atau halaman. Kriteria ini sesuai dengan kriteria yang dianut para ahli, akan tetapi ukuran lain seperti jumlah orang yang tidur dalam satu kamar, jumlah ruangan dalam kamar, jumlah WC per orang/rumah, jumlah anak balita per tempat tidur, dan lain-lain ukuran yang berkaitan dengan jumlah fasilitas perumahan dengan jumlah penghuni tidak dirasakan sebagai ukuran kepadatan oleh penduduk.

Oleh karenanya, penyuluhan tentang hal ini perlu ditingkatkan tidak hanya oleh Dinas Kesehatan tetapi juga Dinas Perumahan dan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan jumlah fasilitas perumahan dan jumlah penghuni tidak dirasakan sebagai ukuran kepadatan (Surjadi et al., 1996). Sangatlah mengherankan bahwa di negara-negara yang sedang berkembang, dampak kepadatan yang berlebihan (overcrowding) terhadap kesehatan masih belum banyak mendapat perhatian. Oleh Karena itu, pada tahun 1992, UNCHS (habitat) minta kepada kelompok-kelompok konsultan internasional dan para peneliti untuk meneliti dan mengidentifikasi hubungan timbal balik yang mendasar antara kepadatan di dalam rumah (in-house crowding) dan kesehatan di daerah perkampungan dengan masyarakat berpenghasilan rendah.

Analisa statistik dipusatkan pada identifikasi indikator-indikator kepadatan yang bermakna (signifikan) untuk dampak kesehatan yang buruk (poor health outcome), misalnya diare, batuk/demam (penyakit saluran pernapasan, dan berat badan waktu lahir.

Parameter-parameter kepadatan, jumlah orang per ruangan (persons per room) dan jumlah anak berusia di bawah lima tahun (balita) per ruang muncul sebagai resiko yang bermakna untuk diare dan penyakit saluran pernapasan. Jumlah orang per ruangan akan muncul terutama sebagai faktor risiko yang bermakna dalam analisa multivariate bila dicari faktor resiko yang paling dominan.

Indikator kepadatan di dalam rumah, luas lantai (dalam m2) per orang atau per anak balita juga muncul sebagai faktor resiko. Terlihat bahwa lantai rumah yang kurang dari 10m2 per orang merupakan faktor resiko yang bermakna baik untuk diare maupun batuk/demam. Indikator kepadatan yang lain yang dianalisa adalah jumlah orang jumlah balita per keluarga dan luas kamar tidur atau kepadatan di dalam kamar tidur. Tidak satupun dari indikator kepadatan ini muncul sebagai faktor resiko yang bermakna. Kurang lebih 20% dari keluarga yang diteliti bertempat tinggal dalam satu unit rumah bersama dengan kegiatan komersial (commercial activity). Menyiapkan makanan untuk rumah makan yang berskala kecil dan menyablon kaos dapat merupakan faktor resiko (Cowi, 1996).

VI.KEPADATAN DAN KESEHATAN MENTAL.

Petambahan penduduk yang eksplosif dan lajunya arus urbanisasi ini jelas merupakan beban bagi perkotaan. Salah satu masalah yang timbul adalah masalah penyediaan pemukiman bagi penduduk, karena kebutuhan akan pemukiman sudah merupakan kebutuhan masyarakat di samping sandang dan pangan. Pertambahan penduduk dan keterbatasan lahan untuk pemukiman di kota menimbulkan daerah yang semakin padat. Dalam tinjauan psikologi lingkungan, maka pemukiman penduduk perkotaan pada umumnya mempunyai dua ciri, yaitu kepadatan (density) dan kesesakan (crowding) yang tinggi.

Proporsi luas tanah untuk rumah tempat tinggal penduduk kota yang semakin sempit menyebabkan kepadatan yang tinggi dan ruang untuk keperluan-keperluan individu dan kelompok juga semakin menyempit. Menurut Holahan (1982), kepadatan (density) adalah sejumlah individu pada setiap ruang atau wilayah. Altman (1975) membagi kepadatan menjadi kepadatan dalam dan kepadatan luar. Kepadatan dalam berarti jumlah manusia dalam suatu ruangan, sedangkan kepadatan luar berarti jumlah orang atau pemukiman di suatu wilayah. Dalam hubungannya dengan kondisi psikologis penghunian rumah, kiranya apa yang dikatakan oleh Holahan dan definisi kepadatan dalam dari Altman lebih bisa diterapkan, dimana dalam setiap unit rumah dihuni oleh sejumlah orang.

Rumah merupakan lingkungan yang paling dekat dan penting bagi manusia karena hampir setengah dari hidupnya dihabiskan di rumah (Awaldi, 1990). Parwati (dalam Budiharjo, 1984) mengatakan bahwa fungsi rumah bagi orang hidup semakin penting, di samping tempat berlindung, rumah juga berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses dimana seorang individu diperkenalkan kepada nilai-nilai, adat kebiasaan, yang berlaku dalam masyarakat, juga rumah berfungsi sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup.

Mengingat pentingnya fungsi rumah sebaiknya rumah dapat dirasakan sebagai suatu lingkungan psikologis yang dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi penghuninya dan perlu dihindarkan rumah yang terlalu sempit. Penyempitan ruang individual dalam rumah akan menimbulkan berbagai macam permasalahan psikologis yang serius. Suasana tidak nyaman tersebut disebabkan oleh banyaknya anggota keluarga yang menempati rumah tersebut, banyaknya orang yang berlalu lalang di sekitar rumah, dan jarak antar rumah yang terlalu dekat, serta suara bising yang mengganggu terus menerus. Kondisi ini jelas akan merugikan perkembangan psikologis anggota keluarga, terutama pada anak-anak dan remaja.

Selain masalah kepadatan, ciri kedua dari pemukiman kota adalah kesesakan. Pengertian kesesakan (crowding) adalah perasaan subyektif individu terhadap keterbatasan ruang yang ada (Holahan, 1982) atau perasaan subyektif karena terlalu banyak orang lain di sekelilingnya (Gifford, 1987). Kesesakan muncul apabila individu berada dalam posisi terkungkung akibat persepsi subyektif keterbatasan ruang, karena dibatasi oleh system konstruksi bangunan rumah dan terlalu banyaknya stimulus yang tidak diinginkan dapat mengurangi kebebasan masingmasing individu, serta interaksi antar individu semakin sering terjadi, tidak terkendali, dan informasi yang diterima sulit dicerna (Cholidah et al., 1996)

Kepadatan memang dapat mengakibatkan kesesakan (crowding), tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Setidaknya ada tiga konsep yang dapat menjelaskan terjadinya kesesakan, yaitu teori information overload, teori behavioral constraint, dan teori ecological model (Stokols dalam Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982; Jain, 1987). Secara teoritis, ketiga konsep tersebut dapat menjelaskan hubungan kepadatan fisik dengan kesesakan.

Kenyataan bahwa semakin padat suatu kawasan. Maka semakin banyak informasi

yang melintas di hadapan penghuni adalah dinamika yang tida terhindarkan. Bila kemudian informasi tersebut melampaui batas kemampuan penerimaannya, maka mulailah timbul masalah-masalah psikologis.

Semakin banyak penduduk dalam wilayah yang terbatas juga bisa menyebabkan adanya constrain bagi individu dalam berperilaku sehari-hari. Konsep ini berkaitan erat dengan pendekatan ekologis. Prinsipnya, ketika daya dukung wilayah tidak mencukupi lagi maka lingkungan alam dan lingkungan sosial akan saling terkait dalam menimbulkan masalah (Sulistyani et al., 1993).

Dalam suasana padat dan sesak, kondisi psikologis yang negatif mudah timbul yang merupakan faktor penunjang yang kuat untuk munculnya stress dan bermacam aktifitas sosial negatif (Wrightsman dan Deaux, 1981). Bentuk aktifitas sosial negatif yang dapat diakibatkan oleh suasana padat dan sesak, antara lain : 1) munculnya bermacam-macam penyakit baik fisik maupun psikis, seperti stres, tekanan darah meningkat, psikosomatis, dan gangguan jiwa; 2) munculnya patologi sosial, seperti kejahatan dan kenakalan remaja; 3) munculnya tingkah laku sosial yang negatif, seperti agresi, menarik diri, berkurangnya tingkah laku menolong (prososial), dan kecenderungan berprasangka; 4) menurunnya prestasi kerja dan suasana hati yang cenderung murung (Holahan, 1982).

Menurut Baum et al.(dalam Evans, 1982), peristiwa atau tekanan yang berasal dari lingkungan yang mengancam keberadaan individu dapat menyebabkan stres. Bila individu tidak dapat menyesuaikan dengan keadaan lingkungannya, maka akan merasa tertekan dan terganggu dalam berinteraksi dengan lingkungan dan kebebasan individu merasa terancam sehingga mudah mengalami stres. Kawasan padat dan sesak juga menyebabkan individu lebih selektif dalam berhubungan dengan orang lain, terutama dengan orang yang tidak begitu dikenalnya. Tindakan ini dilakukan individu untuk mengurangi stimuli yang tidak diinginkan yang dapat mengurangi kebebasan individu. Tindakan selektif ini memungkinkan menurunnya keinginan seseorang untuk membantu orang lain (intensi prososial). Perilaku prososial adalah perilaku seseorang yang ditujukan pada orang lain dan memberikan keuntungan fisik maupun psikologis bagi yang dikenakan tindakan tersebut. Perilaku prososial mencakup tindakan-tindakan kerja sama,

membagi, menolong, kejujuran, dermawan serta mempertimbangkan kesejahteraan orang lain (Mussen et al., 1979).

Perilaku prososial sangat penting artinya bagi kesiapan seseorang dalam mengarungi kehidupan sosialnya. Karena dengan kemampuan prososial ini seseorang akan lebih diterima dalam pergaulan dan akan dirasakan berarti kehadirannya bagi orang lain (Cholidah, 1996).

Dalam pendekatan kognitif, pada teori psikologi lingkungan tentang rasa sesak, Stanley Milgram (1970) menyimpulkan bahwa bila orang dihadapkan pada stimulasi yang terlalu banyak, orang akan mengalami beban indera yang berlebihan dan tidak akan dapat menghadapi semua stimulasi itu. Milgram yakin bahwa beban indera yang berlebihan selalu bersifat tidak menyenangkan dan mengganggu kemampuan seseorang untuk berfungsi secara tepat (Evans et al., 1996).

VII. STRATEGI ADAPTASI DALAM SITUASI KEPADATAN SOSIAL.

Ketika manusia dihadapkan pada situasi padat, yang dapat dipersepsikan sebagai situasi yang mengancam eksistensinya, manusia melakukan adaptasi. Hal ini berarti ada hubungan interaksionistis antara lingkungan dan manusia. Lingkungan dapat mempengaruhi manusia, manusia juga dapat mempengaruhi manusia (Holahan, 1982). Oleh karena bersifat saling mempengaruhi maka terdapat proses adaptasi dari individu dalam menanggapi tekanak-tekanan yang berasal dari lingkungan seperti yang dinyatakan oleh Sumarwoto (1991), bahwa individu dalam batas tertentu mempunyai kelenturan. Kelenturan ini memungkinkan individu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kemampuan adapatasi ini mempunyai nilai untuk kelangsungan hidup. Adaptasi diartikan sebagai kapasitas individu untuk mengatasi lingkungan, yang merupakan proses tingkah laku umum yang didasarkan atas faktor-faktor psikologis untuk melakukan antisipasi kemampuan melihat tuntutan di masa yang akan datang (Altman dalam Gifford, 1980). Dengan demikian, adaptasi merupakan tingkah laku yang melibatkan perencanaan agar dapat mengantisipasi suatu peristiwa di masa yang akan datang. Pengertian adaptasi sering dibaurkan dengan pengertian penyesuaian. Adaptasi merupakan perubahan respon pada situasi, sedangkan penyesuaian merupakan perubahan stimulus itu sendiri. Misalnya dalam menghadapi air yang panas, penyesuaian diri dilakukan dengan memasukkan tangan yang diselimuti kaos tangan, tetapi ketika orang melakukan adaptasi, orang berlatih memasukkan tangan ke tempat air panas yang dimulai dari suku terrendah yang mampu memasukinya dan kemudian secara bertahap dinaikkan suhu air tersebut (Sonnenfelt, 1966 dalam Baum et al, 1978) (Helmi, 1994)..

Tujuan adaptasi dikatakan Berry (Altman et al., 1985) untuk mengurangi disonansi dalam suatu system, yaitu meningkatkan harmoni serangkaian variable yang berinteraksi. Jika dikaitkan dengan interaksi manusia-lingkungan, disonansi dalam suatu system dapat diartikan ada ketidakseimbangan transaksi antara lingkungan dan manusia. Salah satu bentuk ketidakseimbangan tersebut adalah tuntutan lingkungan yang melebihi kapasitas manusia untuk mengatasinya. Salah satu upaya mencapai keseimbangan adalah melakukan pembiasaan terhadap stimulus yang datang secara konstan, sehingga kekuatan stimulus melemah (Heimstra & McFarling, 1978; Bell et al., dalam Gustinawati, 1990). Inilah yang disebut adaptasi. Orang dikatakan mampu beradaptasi secara efektif jika dalam situasi yang menekan, terjadi keseimbangan, baik dalam aspek psikis maupun fisik.

Indikator strategi adaptasi yang efektif dalam situasi kepadatan sosial yang tinggi

dilihat dari 3 aspek, yaitu aspek kesesakan (crowding), aspek kemampuan konsentrasi, dan aspek tekanan darah (arousal). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa adaptasi dalam situasi kepadatan sosial tinggi dilakukan dengan cara membiasakan diri dalam situasi kepadatan sosial tinggi sampai dicapai kondisi yang seimbang, yang tercermin dari rendahnya kesesakan, kemampuan berkonsentrasi, dan tidak terjadi arousal.

Pengertian adaptasi berbeda dengan koping. Koping tidak memperhatikan hasil (Folkman, 1984), sedangkan adaptasi mementingkannya (Fisher et al., 1984). Namun demikian, strategi adaptasi dilakukan atas dasar strategi koping yang dipilih. Pemilihan strategi koping dikatakan Folkman (1984) didasarkan atas penilaian primer dan sekunder.

Pilihan strategi koping dalam situasi kepadatan sosial tinggi bersifat individual, juga tergantung pada faktor situasional dan faktor kondisi sosial (Fisher et al., 1984).

Faktor situasional yang dimaksud adalah apakah individu berada dalam situasi yang saling mengenal atau belum. Orang yang belum mengenal sebelumnya, kemungkinan besar mengalami penyebab kesesakan. Kondisi sosial yang dimaksudkan adalah ‘iklim’ interaksi sosial, misalnya iklim kompetitif ataukah kooperatif. Dalam situasi kooperatif, perasaan tenggang rasa dan kehendak memperhatikan orang lain, lebih penting, sehingga individualitas kurang penting artinya. Dalam situasi kompetitif, individualitas dijunjung tinggi, sehingga orientasi seseorang terhadap produktivitas kerja semata-mata bersifat individual.

Kehadiran orang lain, seringkali dianggap mengancam dirinya. Jika dikaitkan dengan kepadatan sosial, dalam iklim kompetitif, kehadiran orang lain lebih dipersepsikan sebagai ancaman, sehingga perasaan kesesakan/stres semakin tinggi. Faktor kepribadian, terutama harga diri, berpengaruh besar dalam menanggapi tekanan kepadatan sosial (Gove dalam Gove & Hughes, 1983). Harga diri tinggi lebih mampu mempertahankan jarak lebih dekat dengan orang lain (Brigham, 1991). Harga diri dan kesesakan berkorelasi negatif (r=0.4755;p<05) dari studi pendahuluan yang dilakukan pada subyek mahasiswa teknik elektro UGM.

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa di dalam manipulasi kepadatan sosial tinggi, terdapat interaksi antara faktor situasional (kompetitif), faktor kondisi sosial (situasi di antara subyek kurang saling mengenal), dan faktor kepribadian (tingkat harga diri). Dinyatakan oleh Holahan (1982) bahwa manusia adalah agen aktif dalam mengatasi tekanan lingkungan, sementara itu aspek penting dari kepribadian adalah harga diri (Coopersmith dalam Hidayati, 1995). Dengan demikian, harga diri diduga yang paling berpengaruh dalam pemilihan strategi Coping.

Salah satu staregi koping adalah menyusun kembali latar fisik berdasarkan prinsip environmental-fit model, yaitu merancang bangunan sesuai dengan tipe-tipe interaksi sosial (Brigham, 1991). Jika interaksi sosial yang diinginkan seminimal mungkin diijinkan, diperlukan tingkat privasi yang optimal. Caranya adalah membuat rancangan bangunan fisik dengan mempertimbangkan ruang personal (personal space) dari territorial (Holahan, 1982; Guilford, 1987), sehingga kontrol personal meningkat (Humphrey Osmond dalam Gifford, 1987). Ruang personal adalah ruang di sekitar individu yang tidak mengijinkan individu lain memasukinya (Holahan, 1982). Biasanya, ruang tersebut digambarkan sebagai gelembung yang tidak tampak, menyelimuti seseorang, dan dibawa kemana saja. Sifat lainnya adalah dinamis dan berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Namun demikian, ruang personal dikontrol kuat oleh seseorang. Jika terjadi pelanggaran, dianggap sebagai ancaman. Hal ini disebabkan oleh fungsi ruang personal adalah melindungi harga diri seseorang (Dosey & Meisels dalam Gifford, 1987), sehingga menurut teori beban lingkungan, stimulasi informasi tetap dalam kondisi optimal . Ruang personal bagi Altman (Brigham, 1991) merupakan salah satu upaya meningkatkan privasi.

Cara memperoleh ruang personal dengan merancang bangunan fisik yang menghambat interaksi sosial (latar sosiopetal). Latar sosiopetal terlihat pada meja makan yang dikelilingi tempat duduk yang saling menatap, sedangkan latar sosiofugal terlihat pada tempat duduk di ruang tunggu pelabuhan udara (Osmond dalam Gifford, 1987).

Sementara itu, territorial dipandang Sommers sebagai tempat yang dimiliki atau dikontrol individu atau kelompok (Fisher et al., 1984). Menurut teori beban lingkungan, territorial berfungsi menurunkan jumlah dan kompleksitas stimulasi. Teritorial menurut pandangan ekologis merupakan upaya mempertegas batas-batas kepemilikan sumberdaya, batas antara pemiliki dan bukan pemilik. Teritorial menurut teori kendala perilaku merupakan upaya meningkatkan kontrol personal terhadap lingkungan sehingga privasi yang optimal dapat tercapai. Diperolehnya kontrol personal merupakan dasar pengembangan identitas personal (Edney dalam Holahan, 1982). Salah satu penelitian tentang territorial di laboratorium dilakukan oleh Desor (Holahan, 1982). Desor menggunakan partisi, baik yang permanen maupun bukan dalam laboratorium merupakan upaya efektif mengatasi perasaan kesesakan.

Seperti yang telah diuraikan, bahwa pemilihan strategi koping ditentukan oleh faktor kepribadian, yaitu tingkat harga diri, yang dimulai dari proses penilaian primer dan sekunder. Penilaian primer subyek harga diri tinggi adalah percaya pada diri sendiri, sehingga dalam situasi kepadatan sosial tinggi, situasi di antara subyek kurang saling mengenal dan dalam iklim kompetitif, kehadiran orang lain tidak dipersepsikan sebagai ancaman (penilaian sekunder). Akibatnya, strategi koping yang dipilih didasarkan kebutuhan untuk memperoleh ruang personal, tanpa perlu kejelasan batas-batas fisik. Persentase latar sosiofugal diperkirakan lebih banyak dipilih subyek harga diri tinggi sebagai strategi koping. Strategi tersebut akan dipertahankan sebagai strategi adaptasi dan merupakan strategi adaptasi yang efektif.

Dalam situasi kepadatan sosial tinggi, di antara subyek kurang saling mengenal dan dalam kondisi kompetitif; kehadiran orang lain dipersepsikan sebagai ancaman bagi subyek harga diri rendah. Hal ini disebabkan, penilaian primer subyek harga diri rendah adalah kurang percaya diri dan memandang orang lain lebih mampu (penilaian sekunder). Strategi koping yang dipilih adalah territorial. Melalui territorial kontrol personal dapat ditingkatkan (Sommers dalam Fisher et al., 1984), informasi dapat diseleksi, dan kebebasan memilih perilaku dapat dilakukan. Strategi adaptasi dan merupakan strategi adaptasi yang efektif (Helmi dan Ancok, 1995).